SEJARAH ISLAM

Ada Yang Mengaku Bertemu Nabi Khidhir? Jangan Percaya!

Jika ada orang di zaman ini yang mengaku sebagai Nabi Khidhir atau bertemu Nabi Khidhir ‘alahissalam yang kisahnya ada dalam Al Qur’an, maka jangan percaya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- mengatakan: “Jin juga banyak mendatangi manusia di beberapa tempat, dan mengatakan bahwa dia adalah Khidhir, sehingga orang itu meyakini bahwa memang itu Khidhir, padahal dia hanyalah jin.
Oleh karena itu, setan tidak berani mengatakan kepada seorangpun dari sahabat Nabi bahwa dia itu Khidhir, dan tidak seorang pun dari sahabat Nabi mengatakan bahwa saya telah melihat Khidhir. Namun hal ini hanya terjadi setelah zaman sahabat, dan semakin akhir zamannya, semakin banyak kejadiannya.
Bahkan jin biasa mendatangi kaum yahudi dan nasrani, dan mengatakan bahwa dia Khidhir. Sehingga kaum yahudi punya sinagog yang dikenal dengan Sinagog Khidhir, begitu pula banyak gereja kaum nasrani dikunjungi oleh Khidhir ini.
Dan Khidhir yang mendatangi orang ini berbeda dengan khidhir yang mendatangi orang itu, oleh karenanya diantara mereka ada yang mengatakan bahwa setiap wali itu memiliki Khidhir (sendiri-sendiri), padahal sebenarnya itu hanyalah JIN yang bersamanya” (Kitab Annubuwwat, hal: 1056-1058).
Syeikhul Islam -rahimahullah- juga mengatakan: “Tidak ada sahabat Nabi yang mengatakan bahwa dia didatangi oleh Khidhir, karena sesungguhnya Khidhir (yang bersama) Musa telah wafat. Dan Khidhir yang banyak mendatangi manusia, itu hanyalah jin yang menyerupakan dirinya dengan rupa manusia, atau manusia pendusta.
Dan tidak mungkin itu malaikat dengan perkataannya “saya adalah Khidhir“, karena malaikat itu tidak akan berdusta, tapi yang berdusta hanyalah jin dan manusia dan para Sahabat Nabi itu LEBIH ALIM untuk digoda dengan tipuan semacam ini” (Majumu’ul Fatawa, 1/249).
Wallahu a’lam.

Penegakkan Hukum di Masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dewasa ini, kita bisa menyaksikan bersama ketika hukum ditegakkan di negeri ini. Ketika orang-orang yang memiliki harta, kekuasaan, dan jabatan melakukan suatu pelanggaran hukum, mereka pun diproses seperti warga negara biasa lainnya. Hal ini tentu patut kita syukuri. Memang demikianlah kewajiban penguasa (pemerintah), yaitu menegakkan hukum tanpa pandang bulu, tidak membedakan antara pejabat atau rakyat biasa. Kalau kita melihat sejarah, maka penegakkan hukum seperti ini telah dicontohkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjadi pemimpin negara.

Riba yang Pertama Kali Dihapus adalah Riba ‘Abbas bin Abdul Muthollib

Praktik-praktik riba banyak dilakukan oleh masyarakat musyrik jahiliyyah sampai datanglah firman Allah Ta’ala yang mengharamkan praktek riba,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba(QS. Al Baqarah [2]: 275).
Orang-orang yang terlanjur bertransaksi dengan sistem riba (misalnya dia memberikan pinjaman dengan bunga tertentu), maka wajib bagi orang tersebut untuk menggugurkan transaksi ribanya, tidak boleh lagi mengambil riba. Hal ini ditegaskan oleh lanjutan ayat di atas yaitu,
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, kemudian berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan). Dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya(QS. Al Baqarah [2]: 275).
Maksudnya, riba yang terlanjur diambil sebelum turunnya larangan, maka itu untuknya (tidak perlu dikembalikan) karena Allah Ta’ala mengampuni apa yang telah lewat, namun setelah turunnya larangan ini dan seseorang masih memiliki perjanjian riba, maka dia tidak boleh lagi mengambil harta riba tersebut. Artinya, dia wajib menggugurkannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengumumkan ketika haji wada’ (haji terakhir nabi shalallahu ‘alaihi wasallam) bahwa riba jahiliyyah telah dihapus (dilarang) sampai hari kiamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ إِنَّ كُلَّ رِبًا مِنْ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ لَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
“Sesungguhnya seluruh riba jahiliyyah telah dihapus. Bagi kalian pokok harta kalian. Kalian tidak boleh mendzalimi dan tidak pula didzalimi” (HR. Abu Dawud no. 3336. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).
Mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, maka muncul pertanyaan pada masyarakat Arab jahiliyyah waktu itu,Apakah kerabat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melakukan praktik riba juga wajib menggugurkan riba?” Hal ini karena di antara kerabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ada yang melakukan praktik (transaksi) riba. Pertanyaan masyarakat Arab jahiliyyah itu dijawab dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ
”Riba jahiliyyah telah dihapus. Dan riba yang pertama kali aku hapus adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi sendiri, pen.). Maka riba jahiliyyah dihapus seluruhnya”  (HR. Abu Dawud no. 1907. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, ”Demikianlah hukum. Demikianlah penguasa. Mereka pertama kali menerapkan aturan pada kerabatnya sendiri. Berbeda dengan penguasa pada hari ini, ketika kerabat para penguasa tersebut memiliki kekebalan hukum sehingga dapat berbuat semaunya sendiri.  Akan tetapi, pada masa rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam riba yang dihapuskan pertama kali adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muthallib (paman beliau sendiri). Maka riba ‘Abbas dihapus seluruhnya” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1/1907, Maktabah Asy-Syamilah).
Lihatlah bagaimana rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai menegakkan aturan haramnya riba dimulai dari paman beliau sendiri, yaitu ‘Abbas bin Abdul Muthallib.

Jika Fatimah binti Muhammad Mencuri, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam Sendiri yang Akan Memotong Tangannya

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,
أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ، فَقَالُوا: مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالُوا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ، حِبُّ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ؟» ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»
“Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka Usamah pun berkata (melobi) rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’ (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).
Ketika menjelaskan hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, ”Inilah keadilan”.  Inilah penegakkan hukum Allah, yaitu bukan atas dasar mengikuti hawa nafsu. Rasulullah bersumpah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri –dan Fatimah tentu lebih mulia secara nasab dibandingkan dengan wanita bani Makhzum tersebut karena Fatimah adalah pemimpin para wanita di surga- maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan memotong tangannya.”
Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah melanjutkan, ”Demikianlah, wajib atas pemimpin (pemerintah) untuk tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Mereka tidak boleh memihak seorang pun karena hubungan dekat, kekayaannya, kemuliaannya di masyarakat (kabilah/sukunya), atau sebab lainnya” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1/2119, Maktabah Asy-Syamilah).


Sejarah Penetapan Penanggalan Tahun Hijriyah

Saat ini kita berada di penghujung bulan Dzulhijah; bulan ke 12 dari kalender hijriyah. Beberapa hari lagi kita akan memasuki tahun baru hijriyah. Moment yang sangat pas untuk mempelajari kembali sejarah penetapan penanggalan hijriyah.
Kalender hijriyah adalah penanggalan rabani yang menjadi acuan dalam hukum-hukum Islam. Seperti haji, puasa, haul zakat, ‘idah thalaq dan lain sebagainya. Dengan menjadikan hilal sebagai acuan awal bulan. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah ta’ala,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ َ
Orang-orang bertanya kepadamu tentang hilal. Wahai Muhammad katakanlah: “Hilal itu adalah tanda waktu untuk kepentingan manusia dan badi haji.”(QS. Al-Baqarah: 189)
Sebelum penanggalan hijriyah ditetapkan, masyarakat Arab dahulu menjadikan peristiwa-peristiwa besar sebagai acuan tahun. Tahun renovasi Ka’bah misalnya, karena pada tahun tersebut, Ka’bah direnovasi ulang akibat banjir. Tahun fijar, karena saat itu terjadi perang fijar. Tahun fiil (gajah), karena saat itu terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah. Oleh karena itu kita mengenal tahun kelahiran Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dengan istilah tahun fiil/tahun gajah. Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian seorang tokoh sebagai patokan, misal 7 tahun sepeninggal Ka’ab bin Luai.” Untuk acuan bulan, mereka menggunakan sistem bulan qomariyah (penetapan awal bulan berdasarkan fase-fase bulan)
Sistem penanggalan seperti ini berlanjut sampai ke masa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dan khalifah Abu Bakr Ash-Sidiq radhiyallahu’anhu. Barulah di masa khalifah Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu, ditetapkan kalender hijriyah yang menjadi pedoman penanggalan bagi kaum muslimin.

Latar Belakang Penanggalan

Berawal dari surat-surat tak bertanggal, yang diterima Abu Musa Al-Asy-‘Ari radhiyahullahu’anhu; sebagai gubernur Basrah kala itu, dari khalifah Umar bin Khatab. Abu Musa mengeluhkan surat-surat tersebut kepada Sang Khalifah melalui sepucuk surat,
إنه يأتينا منك كتب ليس لها تاريخ
“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Anda, tanpa tanggal.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
إنَّه يأتينا مِن أمير المؤمنين كُتبٌ، فلا نَدري على أيٍّ نعمَل، وقد قرأْنا كتابًا محلُّه شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي
“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak tau apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu surat yang dikirim di bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Karena kejadian inilah kemudian Umar bin Khatab mengajak para sahabat untuk bermusyawarah; menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin.

Penetapan Patokan Tahun

Dalam musyawarah Khalifah Umar bin Khatab dan para sahabat, muncul beberapa usulan mengenai patokan awal tahun.
Ada yang mengusulkan penanggalan dimulai dari tahun diutus Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Sebagian lagi mengusulkan agar penanggalan dibuat sesuai dengan kalender Romawi, yang mana mereka memulai hitungan penanggalan dari masa raja Iskandar (Alexander). Yang lain mengusulkan, dimulai dari tahun hijrahnya Nabi shallallahu’alaihiwasalam ke kota Madinah. Usulan ini disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Hati Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu ternyata condong kepada usulan ke dua ini,
الهجرة فرقت بين الحق والباطل فأرخوا بها
” Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil. Jadikanlah ia sebagai patokan penanggalan.” Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu mengutarakan alasan.
Akhirnya para sahabatpun sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun. Landasan mereka adalah firman Allah ta’ala,
لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه َ
Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. (QS. At-Taubah:108)
Para sahabat memahami makna “sejak hari pertama” dalam ayat, adalah hari pertama kedatangan hijrahnya Nabi. Sehingga moment tersebut pantas dijadikan acuan awal tahun kalender hijriyah.
Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahillah dalam Fathul Bari menyatakan,
وأفاد السهيلي أن الصحابة أخذوا التاريخ بالهجرة من قوله تعالى : لمسجد أسس على التقوى من أول يوم لأنه من المعلوم أنه ليس أول الأيام مطلقا ، فتعين أنه أضيف إلى شيء مضمر وهو أول الزمن الذي عز فيه الإسلام ، وعبد فيه النبي – صلى الله عليه وسلم – ربه آمنا ، وابتدأ بناء المسجد ، فوافق رأي الصحابة ابتداء التاريخ من ذلك اليوم ، وفهمنا من فعلهم أن قوله تعالى من أول يوم أنه أول أيام التاريخ الإسلامي ، كذا قال ، والمتبادر أن معنى قوله : من أول يوم أي دخل فيه النبي – صلى الله عليه وسلم – وأصحابه المدينة والله أعلم .
” Pelajaran dari As-Suhaili: para sahabat sepakat menjadikan peristiwa hijrah sebagai patokan penanggalan, karena merujuk kepada firman Allah ta’ala,
لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه َ
Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At-Taubah: 108)
Sudah suatu hal yang maklum; maksud hari pertama (dalam ayat ini) bukan berarti tak menunjuk pada hari tertentu. Nampak jelas ia dinisbatkan pada sesuatu yang tidak tersebut dalam ayat. Yaitu hari pertama kemuliaan islam. Hari pertama Nabi shallallahu’alaihiwasallam bisa menyembah Rabnya dengan rasa aman. Hari pertama dibangunnya masjid (red. masjid pertama dalam peradaban Islam, yaitu masjid Quba). Karena alasan inilah, para sahabat sepakat untuk menjadikan hari tersebut sebagai patokan penanggalan.
Dari keputusan para sahabat tersebut, kita bisa memahami, maksud “sejak hari pertama” (dalam ayat) adalah, hari pertama dimulainya penanggalan umat Islam. Demikian kata beliau. Dan telah diketahui bahwa makna firman Allah ta’ala: min awwali yaumin (sejak hari pertama) adalah, hari pertama masuknya Nabi shallallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya ke kota Madinah.
. Allahua’lam. ” (Fathul Bari, 7/335)
Sebenarnya ada opsi-opsi lain mengenai acuan tahun, yaitu tahun kelahiran atau wafatnya Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Namun mengapa dua opsi ini tidak dipilih? Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan alasannya,”
لأن المولد والمبعث لا يخلو واحد منهما من النزاع في تعيين السنة ، وأما وقت الوفاة فأعرضوا عنه لما توقع بذكره من الأسف عليه ، فانحصر في الهجرة ، .
“Karena tahun kelahiran dan tahun diutusnya beliau menjadi Nabi, belum diketahui secara pasti. Adapun tahun wafat beliau, para sahabat tidak memilihnya karena akan menyebabkan kesedihan manakala teringat tahun itu. Oleh karena itu ditetapkan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun.” (Fathul Bari, 7/335)
Alasan lain mengapa tidak menjadikan tahun kelahiran Nabi shallallahu’alaihiwasallam sebagai acuan; karena dalam hal tersebut terdapat unsur menyerupai kalender Nashrani. Yang mana mereka menjadikan tahun kelahiran Nabi Isa sebagai acuan.
Dan tidak menjadikan tahun wafatnya Nabi shallallahu’alaihiwasallam
sebagai acuan, karena dalam hal tersebut terdapat unsur tasyabuh dengan orang Persia (majusi). Mereka menjadikan tahun kematian raja mereka sebagai acuan penanggalan.

Penentuan Bulan

Perbincangan berlanjut seputar penentuan awal bulan kalender hijriyah. Sebagian sahabat mengusulkan bulan Ramadhan. Sahabat Umar bin Khatab dan Ustman bin Affan mengusulkan bulan Muharram.
بل بالمحرم فإنه منصرف الناس من حجهم
“Sebaiknya dimulai bulan Muharam. Karena pada bulan itu orang-orang usai melakukan ibadah haji.” Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu.
Akhirnya para sahabatpun sepakat.
Alasan lain dipilihnya bulan muharam sebagai awal bulan diutarakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah,
لأن ابتداء العزم على الهجرة كان في المحرم ؛ إذ البيعة وقعت في أثناء ذي الحجة وهي مقدمة الهجرة ، فكان أول هلال استهل بعد البيعة والعزم على الهجرة هلال المحرم فناسب أن يجعل مبتدأ ، وهذا أقوى ما وقفت عليه من مناسبة الابتداء بالمحرم
“Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada bulan muharam. Dimana baiat terjadi dipertengahan bulan Dzulhijah (bulan sebelum muharom)
Dari peristiwa baiat itulah awal mula hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama setelah peristiwa bai’at adalah hilal bulan muharam, serta tekad untuk berhijrah juga terjadi pada hilal bulan muharam (red. awal bulan muharam). Karena inilah muharam layak dijadikan awal bulan. Ini alasan paling kuat mengapa dipilih bulan muharam.” (Fathul Bari, 7/335)
Dari musyarah tersebut, ditentukanlah sistem penanggalan untuk kaum muslimin, yang berlaku hingga hari ini. Dengan menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun dan bulan muharam sebagai awal bulan. Oleh karena itu kalender ini populer dengan istilah kalender hijriyah.
Ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari kisah penanggalan hijriyah di atas:
  1. Kalender hijriyah ditetapkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para sahabat. Dan kita tahu bahwa ijma’ merupakan dalil qot’i yang diakui dalam Islam.
  2. Sistem penanggalan yang dipakai oleh para sahabat adalah bulan qomariyah. Hal ini diketahui dari surat Umar bin Khatab yang ditulis untuk Abu Musa Al-Asy-‘ariy; di situ tertulis bulan sya’ban, hanya saja tidak diketahui tahunnya.
  3. Para sahabat menjadikan kalender hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam segala urusan kehidupan mereka; baik urusan ibadah maupun dunia. Sehingga memisahkan penggunaan kalender hijriyah, antara urusan ibadah dan urusan dunia, adalah tindakan yang menyelisihi konsesus para sahabat. Seyogyanya bagi seorang muslim, menjadikan kalender hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam kesehariannya.
  4. Kalender hijriyah merupakan syi’ar Islam, yang menbedakannya dengan agama-agama lainnya.
Demikian yang bisa kami sampaikan. Allahu ta’ala a’lam bis showab.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad, wa’ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar