URGENSI MENUNUTUT ILMU SYAR'I
Syariat Islam itu berbeda-beda urgensi dan kedudukannya, sesuai dengan kebutuhan manusia terhadapnya. Mengingat kebutuhan manusia yang sangat tinggi terhadap ilmu syar’i (ilmu agama), maka menuntut ilmu syar’i menempati kedudukan yang sangat penting di antara ajaran-ajaran Islam yang lainnya. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata,
النَّاسُ إِلَى الْعِلْمِ أَحْوَجُ
مِنْهُمْ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ. لِأَنَّ الرَّجُلَ يَحْتَاجُ
إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ فِي الْيَوْمِ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ.
وَحَاجَتُهُ إِلَى الْعِلْمِ بِعَدَدِ أَنْفَاسِهِ
“Kebutuhan manusia terhadap ilmu (syar’i) itu melebihi kebutuhannya terhadap makanan dan minuman. Hal itu karena seseorang membutuhkan makanan dan minuman hanya sekali atau dua kali (saja), adapun kebutuhannya terhadap ilmu (syar’i) itu sebanyak tarikan nafasnya.” [Madaarijus Saalikiin, 2/440]
Dengan Menuntut Ilmu Syar’i, Manusia Terbedakan dari Binatang
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ketika menjelaskan tentang pentingnya ilmu syar’i dan kebutuhan manusia terhadapnya,
ان الانسان إِنَّمَا يُمَيّز على غَيره من
الْحَيَوَانَات بفضيلة الْعلم وَالْبَيَان وَإِلَّا فَغَيره من الدَّوَابّ
وَالسِّبَاع أَكثر أكلا مِنْهُ واقوى بطشا وَأكْثر جماعا واولادا واطول
اعمارا وَإِنَّمَا ميز على الدَّوَابّ والحيوانات بِعِلْمِهِ وَبَيَانه
فَإِذا عدم الْعلم بقى مَعَه الْقدر الْمُشْتَرك بَينه وَبَين سَائِر
الدَّوَابّ وَهِي الحيوانية الْمَحْضَة فَلَا يبْقى فِيهِ فضل عَلَيْهِم بل
قد يبْقى شرا مِنْهُم
“Manusia itu dibedakan dari jenis binatang dengan adanya keutamaan
ilmu dan bayan (penjelasan). Jika manusia tidak memilki ilmu, maka
binatang melata dan binatang buas itu lebih banyak makan, lebih kuat,
lebih banyak jima’ (berhubungan seksual), lebih banyak memiliki anak, dan lebih panjang umurnya daripada manusia. Manusia itu dibedakan dari binatang karena ilmu dan bayan yang dimilkinya. Jika keduanya tidak ada, maka yang tersisa adalah adanya sisi persamaan
antara manusia dan binatang, yaitu ‘sifat kehewanan’ saja. Dan tidak
ada keutamaan manusia atas binatang, bahkan bisa jadi manusia lebih
jelek darinya.” [Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/78]
Maksudnya, jika manusia tidak memiliki ilmu terhadap hal-hal yang bermanfaat untuk dunianya dan tempat kembalinya di akhirat, maka seakan-akan binatang itu lebih baik darinya. Hal ini karena selamatnya binatang di akhirat dari apa yang menghancurkannya, sedangkan manusia yang bodoh tidak bisa selamat. Semoga Allah Ta’ala merahmati seorang penyair yang berkata,
فليجتهد رجل فى العلم يطلبه … كيلا يكون شبيه الشاء و البقر
Hendaklah seseorang bersemangat dalam menuntut ilmu,
Agar dia tidak serupa dengan kambing atau lembu
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
لولا العلماء لصار الناس كابهائم
Ilmu Syar’i Merupakan Penjaga dari Kesesatan, Penyelewengan dan Beramal Tanpa Ilmu
Ibnul Qayyim rohimahulloh berkata,”Beramal
tanpa ilmu itu seperti berjalan tanpa petunjuk. Tentu saja akan lebih
dekat kepada kerusakan daripada keselamatan. Kemungkinan untuk
ditaqdirkan selamat adalah sangat kecil (yaitu, apabila seseorang
beramal tanpa ilmu). Hal tersebut tidaklah terpuji, bahkan sangat tercela bagi orang-orang yang berakal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
من فَارق الدَّلِيل ضل السَّبِيل وَلَا دَلِيل إِلَّا بِمَا جَاءَ بِهِ الرَّسُول
‘Barangsiapa yang terpisah dari petunjuk, maka dia akan tersesat. Serta tidak ada petunjuk kecuali ajaran yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
الْعَامِل على غير علم كالسالك على غير
طَرِيق وَالْعَامِل على غير علم مَا يفْسد اكثر مِمَّا يصلح فَاطْلُبُوا
اللم طلبا لَا تضروا بِالْعبَادَة واطلبوا الْعِبَادَة طلبا لَا تضروا
بِالْعلمِ
‘Beramal tanpa ilmu itu seperti berjalan di luar jalur. Orang yang beramal tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkannya akan lebih
banyak daripada kebaikan yang diraih. Maka carilah ilmu dengan tidak
mengganggu ibadah, dan beribadahlah dengan tidak mengganggu mencari
ilmu.’” [Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/83]
Menuntut Ilmu Syar’i Merupakan Sarana untuk Meraih Cinta Allah terhadap Seorang Hamba
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
انه لَا شَيْء اطيب للْعَبد وَلَا الذ
وَلَا اهنأ وَلَا انْعمْ لِقَلْبِهِ وعيشه من محبَّة فاطره وباريه ودوام
ذكره وَالسَّعْي فِي مرضاته وَهَذَا هُوَ الْكَمَال الَّذِي لاكمال للْعَبد
بِدُونِهِ وَله خلق الْخلق … ولاسبيل إِلَى الدُّخُول إِلَى ذَلِك إِلَّا
من بَاب الْعلم فَإِن محبَّة الشَّيْء فرع عَن الشُّعُور بِهِ واعرف الْخلق
بِاللَّه اشدهم حبا لَهُ فَكل من عرف الله احبه وَمن عرف الدُّنْيَا
واهلها زهد فيهم فالعلم يفتح هَذَا الْبَاب الْعَظِيم الَّذِي هُوَ سر
الْخلق وَالْأَمر
“Tidak ada sesuatu yang lebih
harum bagi hamba, tidak ada pula yang lebih lezat, lebih sejuk dan lebih
nikmat untuk hati dan kehidupannya melebihi cinta (dari) Penciptanya dan Pengaturnya (yaitu Allah Ta’ala, pen.), terus-menerus berdzikir kepada-Nya dan berjalan meraih keridhaan-Nya. Inilah kesempurnaan yang tidak ada kesempurnaan lagi sesudahnya dan untuk itulah makhluk diciptakan. …. Serta tidak ada jalan untuk meraihnya kecuali melalui pintu ilmu karena kecintaan terhadap sesuatu merupakan cabang dari pengetahuannya terhadap sesuatu yang dia cintai. Makhluk yang paling mengenal Allah, dialah yang paling mencintai Allah. Maka setiap orang yang mengenal Allah, dia pasti akan mencintai Allah. Barangsiapa yang mengenal dunia dan ahlinya, maka dia akan zuhud darinya. Dan ilmu membuka pintu yang besar ini, yang merupakan rahasia makhluk dan segala urusan.” [Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/83] [1]
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memudahkan langkah kita untuk menuntut ilmu syar’i dan meneguhkan kita di atas jalan menuntut ilmu.
Imam Ibnu Abdil Barr -rahimahullah- mengatakan:
“Orang alim tidak lepas dari kesalahan. Siapa yang sedikit kesalahannya dan banyak benarnya maka dialah orang alim. Dan siapa yang sedikit benarnya dan banyak kesalahannya maka dialah orang jahil” (Jami’ bayaan al ilmi: 2/106).
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Yaqut Al Hamawi -rahimahullah-. Beliau mengatakan: “Orang alim pasti ada saja yang tidak diketahuinya. Bisa saja dia tidak mengetahui jawaban terhadap masaalah yang ditanyakan kepadanya, mungkin karena masaalah tersebut belum pernah didengar sebelumnya atau karna dia lupa” (Irsyaad al-ariif: 1/24).
Syaikhul Islam Ahmad Ibnu Abdil Halim Al Harrany -rahimahumallah- menambahkan: “Kalau seandainya seorang alim yang banyak memberikan fatwa salah dalam seratus masaalah, maka itu bukan suatu aib. Karena siapa saja selain Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- dia bisa benar dan bisa saja salah” (Majmu Fatawa: 28/301).
Cukup banyak persoalan agama yang terlihat mudah dan sepele bagi sebagian orang, namun persoalan tersebut luput dari pengetahuan ulama-ulama besar islam. Kita ambil contoh hukum isti’dzan, persolan ini luput dari seorang Umar -radhiallahu’anhu- dan sahabat lainnya. Mengapa? Karena mereka juga manusia.
Maka tidak sepantasnya bila kita menemukan seorang alim/ustadz yang keliru atau tidak bisa menjawab satu atau dua pertanyaan lalu dengan mudah kita merendahkan si alim/ustadz tersebut, apalagi sampai mengatakan fulan itu bodoh, tidak boleh duduk di majelisnya.
Semoga bermanfaat.
Padahal kita tahu, betapa besar bahaya daripada dosa ghibah ini. Disamping menginjak-injak harga diri saudaranya sesama muslim tanpa hak, juga akan menjadi beban berat di hari kiamat kelak (bila orang yang dighibahi tidak memaafkan). Di saat sedikit pahala amat dibutuhkan untuk menambah beratnya timbangan amal kebaikan, tiba-tiba datang orang yang pernah Anda ghibahi, kemudian dia menuntut untuk mengambil pahala kebaikan Anda, sebagai tebusan atas kezaliman yang pernah Anda lakukan kepadanya. Bila amalan kebaikan tidak mencukupi sebagai tebusan, maka amalan buruknya akan dibebankan kepada Anda. -Na’udzu billah min dzaalik-.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
Anda bisa bayangkan, betapa ruginya. Anda yang susah payah beramal, namun orang lain yang memetik buahnya. Orang lain yang berbuat dosa, sedang Anda yang merasakan pahitnya. Dan Allah tidak pernah berbuat zalim sedikitpun terhadap hambaNya. Namun ini adalah disebabkan kesalahan manusia itu sendiri. Ini dalil betapa tingginya harkat martabat seorang muslim, dan betapa besar bahaya daripada dosa ghibah.
Apakah hadis ini mengisyaratkan adanya pertentangan dengan ayat,
Jawabannya adalah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari, tidak ada sedikitpun pertentangan antara hadis tersebut dengan ayat. Karena sejatinya, dia medapatkan hukuman seperti itu karena disebabkan oleh perbuatan dosanya sendiri, bukan karena dosa orang lain yang dibebankan kepadanya begitu saja. Jadi, pahala kebaikan yang dikurangi, dan keburukan orang lain yang dibebankan kepadanya, sejatinya adalah bentuk dari akibat dosa dia sendiri. Dan ini adalah bukti akan keadilan peradilan Allah ta’ala. (Lihat: Fathul Bari jilid 5, hal. 127)
Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengingatkan,
Pertama, seorang menggunjing saudaranya untuk memeriahkan obrolan. Dia menyadari kalau ghibah ini tidak diteruskan, orang yang dia ajak bicara akan bosan, obrolan menjadi hambar. Untuk itu, dia jadikan ghibah sebagai pemeriah obrolan. Agar lebih manis dan tahan lama obrolannya. Barangkali dia berkilah untuk memupuk keakraban dan membahagiakan saudaranya (yang sedang dia ajak ngobrol).
Kedua, mengumpat saudaranya di hadapan orang lain, untuk mengesankan bahwa dirinya adalah orang yang tidak suka ghibah, padahal sejatinya dia sedang menghibahi saudaranya.
Sebagai contoh perkataan ini,” Bukan tipe saya suka ngomongin aib orang. Saya nda’ biasa ngomongin orang kecuali yang baiknya saja. Cuma, saya ingin berbicara tentang dia apa adanya… Sebenarnya dia itu orangnya baik. Cuma yaa itu.. dia itu begini dan begini (dia sebutkan kekurangannya).”
Padahal sejatinya bermaksud untuk menjatuhkan harga diri saudaranya yang ia umpat. Sungguh ironi, apakah dia kira Allah akan tertipu dengan tipu muslihat yang seperti ini, sebagaimana ia telah berhasil menipu manusia?!
Maha suci Allah dari sangkaan ini.
Ketiga, menyebutkan kekurangan saudaranya, dengan niatan untuk mengangkat martabatnya dan merendahkan kedudukan orang yang dia ghibahi.
Seperti perkataan seorang, “Dari kelas satu SMA sampai kelas tiga, rapornya selalu merah. Kalau saya alhamdulillah, walaupun ngga pernah rangking satu, tapi masuk tiga besar terus.”
Padahal ada maksud terselubung dari ucapan itu. Yaitu untuk mengangkat martabatnya dan menghinakan kedudukan orang lain. Orang yang seperti ini sudah jatuh tertimpa tangga pula; dia sudah melakukan ghibah, disamping itu, dia juga berbuat riya’.
Keempat, ada lagi yang mengumpat saudaranya karena dorongan hasad. Setiap kali ada orang yang menyebutkan kebaikan saudaranya, diapun berusaha untuk menjatuhkannya dengan menyebutkan kekurangan-kekurannya. Orang seperti ini telah terjurumus ke dalam dua dosa besar sekaligus; dosa ghibah dan dosa hasad.
Kelima, menyebutkan kekurangan orang lain, untuk dijadikan bahan candaan. Dia sebutkan aib-aib saudaranya, supaya orang-orang tertawa.
Dan lebih parah lagi, bila yang dijadikan bahan candaan adalah kekurangan guru atau ustadznya. -Nas alullah as-salaamah wal ‘aafiyah-.
Keenam, terkadang ghibah juga muncul dalam bentuk ucapan keheranan, yang terselebung motif menjatuhkan kedudukan orang lain. Semisal ucapan,”saya heran sama dia.. dari tadi dijelaskan oleh ustadznya tapi tidak faham-faham.” atau ucapan lainnya yang semisal.
Ketujuh, mengumpat dengan ungkapan yang seakan-akan mengesankan rasa kasihan. Orang yang mendengarnya menyangka bahwa dia sedang merasa kasihan dengan orang yang ia maksudkan. Padahal sejatinya dia sedang mengumpat saudaranya. Seperti ucapan,” Saya kasihan sama dia. Sudah miskin, tapi tidak mau ikut gotong royong. Kalau ada pengajian juga nda’ pernah datang.. dst”
Kedelapan, mengumpat saat sedang mengingkari suatu maksiat.
Seperti perkataan seorang ketika melihat anak-anak muda yang sedang main gitar di poskamling, “Kalian ini masih muda. Gunakanlah waktu kalian untuk hal-hal yang bermanfaat dan produktif. Supaya masa depan kalian lebih cerah, dan kalian bisa memetik buah manisnya nanti di masa tua. Jangan seperti anaknya pak lurah itu, kerjaannya hanya main kartu, gitaran, minum-minuman….” atau ucapan yang semisal.
Sejatinya pemaparan poin-poin di atas, merujuk kepada pengertian asal daripada ghibah, yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam sabda beliau,
Saudaraku yang kami muliakan, demikianlah beberapa praktek ghibah yang sering terjadi dan tidak disadari. Padahal sejatinya ia adalah ghibah yang telah disinggung oleh Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam sabda beliau,
Semoga Allah ‘azza wa jalla menyelamatkan kita dari dosa ini. Dan senantiasa menambahkan taufik dan hidayahNya untuk kita semua.
Wasallallahu ‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘ ala alihi wa shahbihi wasallam.
**
Catatan:
Tulisan ini kami sadur dari penjabaran Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengenai model-model ghibah, yang termaktub dalam Majmu’ Fatawa jilid 28, hal. 236-237. Dikutip oleh Syaikh Abdullah bin Sholih Al-Fauzan dalam buku beliau: al-Fawaidul Majmu’ah fi Syarhi Fushulil Adab wa Makaarimil Akhlaq Al-Masyruu’ah.
Ustadz Juga Manusia
Seorang ustadz/alim bukanlah orang yang tak pernah salah. Dia juga bukan orang yang harus tahu semua permasalahan agama. Hal ini sudah dijelaskan oleh ulama kita sejak dahulu, agar nantinya tidak ada lagi orang yang menyibukkan diri dengan menghitung-hitung kesalahan seorang ustadz/alim, kemudian menjadikannya dalil untuk menghukumi bahwa ustadz fulan bodoh karena tidak tahu permasaalahan ini dan itu.Imam Ibnu Abdil Barr -rahimahullah- mengatakan:
“Orang alim tidak lepas dari kesalahan. Siapa yang sedikit kesalahannya dan banyak benarnya maka dialah orang alim. Dan siapa yang sedikit benarnya dan banyak kesalahannya maka dialah orang jahil” (Jami’ bayaan al ilmi: 2/106).
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Yaqut Al Hamawi -rahimahullah-. Beliau mengatakan: “Orang alim pasti ada saja yang tidak diketahuinya. Bisa saja dia tidak mengetahui jawaban terhadap masaalah yang ditanyakan kepadanya, mungkin karena masaalah tersebut belum pernah didengar sebelumnya atau karna dia lupa” (Irsyaad al-ariif: 1/24).
Syaikhul Islam Ahmad Ibnu Abdil Halim Al Harrany -rahimahumallah- menambahkan: “Kalau seandainya seorang alim yang banyak memberikan fatwa salah dalam seratus masaalah, maka itu bukan suatu aib. Karena siapa saja selain Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- dia bisa benar dan bisa saja salah” (Majmu Fatawa: 28/301).
Cukup banyak persoalan agama yang terlihat mudah dan sepele bagi sebagian orang, namun persoalan tersebut luput dari pengetahuan ulama-ulama besar islam. Kita ambil contoh hukum isti’dzan, persolan ini luput dari seorang Umar -radhiallahu’anhu- dan sahabat lainnya. Mengapa? Karena mereka juga manusia.
Maka tidak sepantasnya bila kita menemukan seorang alim/ustadz yang keliru atau tidak bisa menjawab satu atau dua pertanyaan lalu dengan mudah kita merendahkan si alim/ustadz tersebut, apalagi sampai mengatakan fulan itu bodoh, tidak boleh duduk di majelisnya.
Semoga bermanfaat.
Waspadai Ghibah Terselubung!
Siang dan malam setan tak pernah bosan untuk menggoda manusia. Tak bisa menggunakan cara ini, dia mencari cara lain untuk bisa melumpuhkan benteng ketakwaan seorang hamba. Imajinasi untuk mencari ide-ide baru, guna menjerumuskan manusia ke dalam nista dan dosa, selalu bergerak dan berkembang.Bahaya ghibah
Sebagai contoh adalah, salah satu jerat setan yang dinamakan ghibah. Ternyata banyak model ghibah yang sering terjadi dan tidak disadari. Padahal sejatinya itu adalah dosa ghibah. Hanya saja dipoles lebih halus dan kreatif, sehingga tidak disadari sebagai ghibah.Padahal kita tahu, betapa besar bahaya daripada dosa ghibah ini. Disamping menginjak-injak harga diri saudaranya sesama muslim tanpa hak, juga akan menjadi beban berat di hari kiamat kelak (bila orang yang dighibahi tidak memaafkan). Di saat sedikit pahala amat dibutuhkan untuk menambah beratnya timbangan amal kebaikan, tiba-tiba datang orang yang pernah Anda ghibahi, kemudian dia menuntut untuk mengambil pahala kebaikan Anda, sebagai tebusan atas kezaliman yang pernah Anda lakukan kepadanya. Bila amalan kebaikan tidak mencukupi sebagai tebusan, maka amalan buruknya akan dibebankan kepada Anda. -Na’udzu billah min dzaalik-.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ
أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ
دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ
بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ
سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Siapa yang pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan (seperti ghibah.
pent) atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia
meminta kehalalannya dari kezaliman tersebut hari ini. Sebelum tiba hari
kiamat yang tidak akan bermanfaat lagi dinar dan dirham. Pada saat itu
bila ia mempunyai amal shalih maka akan diambil seukiran kezaliman yang
ia perbuat. Bila tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya
akan diambil kemudia dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2449, hadis Abu Hurairah.Anda bisa bayangkan, betapa ruginya. Anda yang susah payah beramal, namun orang lain yang memetik buahnya. Orang lain yang berbuat dosa, sedang Anda yang merasakan pahitnya. Dan Allah tidak pernah berbuat zalim sedikitpun terhadap hambaNya. Namun ini adalah disebabkan kesalahan manusia itu sendiri. Ini dalil betapa tingginya harkat martabat seorang muslim, dan betapa besar bahaya daripada dosa ghibah.
Apakah hadis ini mengisyaratkan adanya pertentangan dengan ayat,
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS. Fathir: 18)?Jawabannya adalah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari, tidak ada sedikitpun pertentangan antara hadis tersebut dengan ayat. Karena sejatinya, dia medapatkan hukuman seperti itu karena disebabkan oleh perbuatan dosanya sendiri, bukan karena dosa orang lain yang dibebankan kepadanya begitu saja. Jadi, pahala kebaikan yang dikurangi, dan keburukan orang lain yang dibebankan kepadanya, sejatinya adalah bentuk dari akibat dosa dia sendiri. Dan ini adalah bukti akan keadilan peradilan Allah ta’ala. (Lihat: Fathul Bari jilid 5, hal. 127)
Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengingatkan,
لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ
مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ : مَنْ
هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ : هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ
لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
“Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang
memiliki kuku-kuku dari tembaga. Mereka melukai (mencakari) wajah-wajah
mereka dan dada-dada mereka. Aku bertanya :”Siapakah mereka wahai
Jibril?” Jibril menjawab :”Mereka adalah orang-orang yang memakan
daging-daging manusia ( mengumpat ) dan mereka menginjak-injak
kehormatan manusia.” (Hadis Sohih Riwayat Ahmad (3/223), Abu Dawud (4879).Beberapa model ghibah terselubung
Model-model ghibah tersebut adalah:Pertama, seorang menggunjing saudaranya untuk memeriahkan obrolan. Dia menyadari kalau ghibah ini tidak diteruskan, orang yang dia ajak bicara akan bosan, obrolan menjadi hambar. Untuk itu, dia jadikan ghibah sebagai pemeriah obrolan. Agar lebih manis dan tahan lama obrolannya. Barangkali dia berkilah untuk memupuk keakraban dan membahagiakan saudaranya (yang sedang dia ajak ngobrol).
Kedua, mengumpat saudaranya di hadapan orang lain, untuk mengesankan bahwa dirinya adalah orang yang tidak suka ghibah, padahal sejatinya dia sedang menghibahi saudaranya.
Sebagai contoh perkataan ini,” Bukan tipe saya suka ngomongin aib orang. Saya nda’ biasa ngomongin orang kecuali yang baiknya saja. Cuma, saya ingin berbicara tentang dia apa adanya… Sebenarnya dia itu orangnya baik. Cuma yaa itu.. dia itu begini dan begini (dia sebutkan kekurangannya).”
Padahal sejatinya bermaksud untuk menjatuhkan harga diri saudaranya yang ia umpat. Sungguh ironi, apakah dia kira Allah akan tertipu dengan tipu muslihat yang seperti ini, sebagaimana ia telah berhasil menipu manusia?!
Maha suci Allah dari sangkaan ini.
Ketiga, menyebutkan kekurangan saudaranya, dengan niatan untuk mengangkat martabatnya dan merendahkan kedudukan orang yang dia ghibahi.
Seperti perkataan seorang, “Dari kelas satu SMA sampai kelas tiga, rapornya selalu merah. Kalau saya alhamdulillah, walaupun ngga pernah rangking satu, tapi masuk tiga besar terus.”
Padahal ada maksud terselubung dari ucapan itu. Yaitu untuk mengangkat martabatnya dan menghinakan kedudukan orang lain. Orang yang seperti ini sudah jatuh tertimpa tangga pula; dia sudah melakukan ghibah, disamping itu, dia juga berbuat riya’.
Keempat, ada lagi yang mengumpat saudaranya karena dorongan hasad. Setiap kali ada orang yang menyebutkan kebaikan saudaranya, diapun berusaha untuk menjatuhkannya dengan menyebutkan kekurangan-kekurannya. Orang seperti ini telah terjurumus ke dalam dua dosa besar sekaligus; dosa ghibah dan dosa hasad.
Kelima, menyebutkan kekurangan orang lain, untuk dijadikan bahan candaan. Dia sebutkan aib-aib saudaranya, supaya orang-orang tertawa.
Dan lebih parah lagi, bila yang dijadikan bahan candaan adalah kekurangan guru atau ustadznya. -Nas alullah as-salaamah wal ‘aafiyah-.
Keenam, terkadang ghibah juga muncul dalam bentuk ucapan keheranan, yang terselebung motif menjatuhkan kedudukan orang lain. Semisal ucapan,”saya heran sama dia.. dari tadi dijelaskan oleh ustadznya tapi tidak faham-faham.” atau ucapan lainnya yang semisal.
Ketujuh, mengumpat dengan ungkapan yang seakan-akan mengesankan rasa kasihan. Orang yang mendengarnya menyangka bahwa dia sedang merasa kasihan dengan orang yang ia maksudkan. Padahal sejatinya dia sedang mengumpat saudaranya. Seperti ucapan,” Saya kasihan sama dia. Sudah miskin, tapi tidak mau ikut gotong royong. Kalau ada pengajian juga nda’ pernah datang.. dst”
Kedelapan, mengumpat saat sedang mengingkari suatu maksiat.
Seperti perkataan seorang ketika melihat anak-anak muda yang sedang main gitar di poskamling, “Kalian ini masih muda. Gunakanlah waktu kalian untuk hal-hal yang bermanfaat dan produktif. Supaya masa depan kalian lebih cerah, dan kalian bisa memetik buah manisnya nanti di masa tua. Jangan seperti anaknya pak lurah itu, kerjaannya hanya main kartu, gitaran, minum-minuman….” atau ucapan yang semisal.
Sejatinya pemaparan poin-poin di atas, merujuk kepada pengertian asal daripada ghibah, yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam sabda beliau,
Saudaraku yang kami muliakan, demikianlah beberapa praktek ghibah yang sering terjadi dan tidak disadari. Padahal sejatinya ia adalah ghibah yang telah disinggung oleh Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam sabda beliau,
مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ
أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ :
أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ
فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِا
تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Tahukah kaliana apa itu ghibah?”tanya
Rasulullah kepada para sahabatnya. Sahabat menjawab : Allah dan
Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata : “Yaitu engkau menyebutkan (mengumpat) sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”,
Kemudian ada yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,”Bagaimanakah pendapat engkau bila yang disebutkan itu memang
benar ada padanya ? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Kalau
memang ia benar begitu berarti engkau telah mengumpatnya. Tetapi jika
apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta
atasnya” ( HR Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999.Semoga Allah ‘azza wa jalla menyelamatkan kita dari dosa ini. Dan senantiasa menambahkan taufik dan hidayahNya untuk kita semua.
Wasallallahu ‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘ ala alihi wa shahbihi wasallam.
**
Catatan:
Tulisan ini kami sadur dari penjabaran Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengenai model-model ghibah, yang termaktub dalam Majmu’ Fatawa jilid 28, hal. 236-237. Dikutip oleh Syaikh Abdullah bin Sholih Al-Fauzan dalam buku beliau: al-Fawaidul Majmu’ah fi Syarhi Fushulil Adab wa Makaarimil Akhlaq Al-Masyruu’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar