DOA DAN DZIKIR

Menggabung Niat Zikir Pagi dan Zikir Usai Shalat

Alhamdulillah wash shalatu was salamu ala rasulillah wa ala alihi wa shahbih, amma ba’du, Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah dalam Manzhumah Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyahnya menuliskan
و إن تساوى عملان اجتمعا و فعل إحداهما فاستمعا
“Dan jika dua amal itu sejenis dan dilakukan salahsatunya saja (maka itu sudah cukup), camkanlah”

Penjelasan Kaidah:

Jika ada dua amal yang jenisnya sama, sedangkan salah satunya tidak harus dikerjakan secara tersendiri dan bisa digabungkan, maka boleh dikerjakan salah satu dari keduanya.
Contoh :
  • Seseorang masuk Masjid dan shalat sunnah rawatib sebelum zuhur, maka itu sudah cukup mewakili shalat tahiyyatul masjid.
  • Seorang yang sedang thawaf  umrah, maka sudah bisa mewakili thawaf qudum.
Syarat berlakunya kaidah ini ada dua:
  1. Kedua amal tersebut harus sejenis, maka jika beda jenis tidak berlaku kaidah ini.
  2. Salah satunya harus berstatus amal yang tidak harus dikerjakan secara tersendiri.
Maka jika keduanya adalah amal yang harus dikerjakan masing-masing secara tersendiri, seperti shalat sunnah rawatib sebelum subuh dengan shalat subuh, maka tidak boleh saling mewakili dan tidak bisa digabungkan pelaksanaannya.

Penerapan Kaidah di atas Dalam Masalah:

Bolehkah digabungkan niat zikir pagi dengan zikir sesudah shalat karena lafaz keduanya sama?
  • Jika seseorang yang hendak melakukan zikir sesudah shalat, mengamalkan hadis ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu,
    قال عقبة بن عامر: (أمرني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أقرأ بالمعوذات دبر كل صلاة. وفي رواية بالمعوذتين).
    “’Uqbah bin ‘Amir berkata, (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku membaca mu’awwidzat (Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas) setiap selesai shalat. Dan dalam riwayat lainya hanya mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas)” (HR. Abu Dawud,At-Tirmidzi,An-Nasa`i & Ahmad,dishohihkan Al-Albani).
  • Di sisi yang lain, ia juga ingin mengamalkan hadis Abdullah bin Khubaib tentang zikir pagi. Dalam hadis tersebut,  Abdullah bin Khubaib radhiallahu ‘anhu bertanya,
    يا رسول الله ما أقول؟ قال: (قل هو الله أحد) والمعوذتين حين تمسي وحين تصبح، ثلاث مرات، تكفيك من كل شيء. رواه أبو داودوالترمذي، وحسنه الألباني.
    “Wahai Rasulullah, apa yang aku ucapkan? Beliapun bersabda, qulhuwallahu ahad dan mu’awwidzatain, saat sore hari dan pagi hari sebanyak 3 kali, niscaya zikir itu mencukupimu dari segala sesuatu” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dihasankan oleh Al-Albani).
  • Lalu ia membaca 3 Surat tersebut masing-masing sebanyak 3 kali saja dengan meniatkan zikir ba’da shalat dan zikir pagi sekaligus, maka itu sudah cukup karena
    1. kedua amal tersebut sejenis, yaitu sama-sama zikir.
    2. zikir pagi dan sore termasuk amal yang tidak harus dikerjakan secara tersendiri.
Oleh karena itu Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata di Majmu’ Fatawanya:
أما بعد المغرب، والفجر فيقولها ثلاثًا، يقرأ هذه السور الثلاث ثلاثًا، {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} ثلاثًا، {قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ} ثلاثًا، {قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ} ثلاثًا بعد الفجر، والمغرب
Adapun setelah magrib dan subuh, maka ia mengucapkannya tiga kali, maksudnya membaca tiga surat ini tiga kali Qulhuwallahu ahad (Al-Ikhlas) tiga kali, Qul a’uzu bi rabbil falaq (Al-Falaq) tiga kali, Qul a’uzu birabbinnas (An-Nas) tiga kali sesudah shalat subuh dan magrib”.

Bagaimana jika diamalkan keduanya?

Namun barangsiapa yang melakukan dua zikir tersebut secara sendiri-sendiri, sehingga dia baca tiga surat tersebut masing-masing sebanyak empat kali, maka lebih utama, karena lebih banyak zikir yang diucapkannya. Wallahu a’lam.

Referensi :
  1. Syarh Manzhumah As-Sa’diyyah, Syaikh Dr. Sa’d Ats-Tsitsri.
  2. Al-Majmu’ah Al-Kalimat,(Syarh Manzhumah As-Sa’diyyah), Syaikh As-Sa’di.
  3. Islamqa.info/ar/60420
  4. Fatwa.Islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=133369
  5. Fatwa.Islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=280246
  6. Fatwa.Islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=247942
  7. Do’a & Wirid,Ust. Yazid Jawwas.

Berlindung Dari Kecelakaan Dan Kematian Yang Mengerikan

Betapa bahagianya menjadi umat Nabi Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa sallam. Setiap tuntunan-Nya senantiasa menawarkan solusi dan kemudahan. Tidaklah terlewat satu pun kebaikan melainkan beliau ajarkan kepada umatnya dan tidaklah ada satu keburukan, melainkan beliau mewanti-wanti mereka agar terhindar darinya.
Lihatlah apa yang dicontohkan Sang Nabi tatkala bayang-bayang musibah yang menakutkan datang silih berganti menghampiri anak Adam. Beliau ajarkan kepada umatnya pentingnya berdoa memohon perlindungan kepada Allah dari kematian yang mengerikan. Termasuk di dalamnya adalah kecelakaan jatuh dari pesawat terbang, tenggelam, terbakar, dan tertimpa tanah longsor. Dengan doa, hati menjadi tentram, menyandarkan segala harapan kepada Yang Maha mengabulkan, sekaligus memupus rasa takut dan was-was dari setan.
عَنْ أَبِي الْيَسَرِ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ التَّرَدِّي ، وَالْهَدْمِ ، وَالْغَرَقِ ، وَالْحَرِيقِ ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِي الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ فِي سَبِيلِكَ مُدْبِرًا ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ لَدِيغًا.
“Dari Abul Yasar ia berkata, ‘Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari terjatuh dari tempat yang tinggi, dari tertimpa bangunan (termasuk terkena benturan keras dan tertimbun tanah longsor), dari tenggelam, dan dari terbakar. Aku juga berlindung kepada-Mu dari campur tangan syetan ketika akan meninggal. Aku juga berlindung kepada-Mu dari meninggal dalam keadaan lari dari medan perang. Aku juga berlindung kepada-Mu dari meninggal karena tersengat hewan beracun’” (HR. al-Nasa’i no. 5531, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani).
Barangkali di antara kita ada yang bertanya-tanya, bukankah dalam hadits banyak disebutkan bahwa mati karena tenggelam, terbakar, dan tertimpa bangunan akan mengantarkan seseorang meraih status syahid di akhirat? Benar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita bahwa ada tujuh golongan syuhada selain yang mati di medan perang.
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِي سَبِيلِ اللهِ : الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ ، وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ ، وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ ، وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ ، وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ ، وَالَّذِي يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ ، وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ
“Mati syahid selain yang terbunuh di jalan Allah, ada tujuh, mati karena penyakit tha’un (lepra) syahid, mati karena tenggelam syahid, mati karena sakit tulang rusuk syahid, mati karena sakit di dalam perut syahid, mati karena terbakar syahid, mati karena tertimpa bangunan (benturan keras) syahid, dan wanita yang mati karena mengandung (atau melahirkan) syahid” (HR. Abu Dawud no 3111, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani).
وعنده من حديث ابن مسعود بإسناد صحيح “أن من يتردى من رءوس الجبال وتأكله السباع ويغرق في البحار لشهيد عند الله”
Demikian juga Ibnu Hajar rahimahullah menukikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dari hadits Ibnu Mas’ud bahwa orang yang mati karena terjatuh dari puncak gunung dan mati karena dimakan binatang buas termasuk syahid di sisi Allah (Fathul Bari, Bab al-Syahadah Sab’un Siwal Qatl).

Jika memang musibah-musibah di atas menjadikan seseorang mati syahid, kenapa kita dianjurkan untuk berlindung darinya?

Poin-poin berikut ini akan membantu menjelaskan kepada kita sebab dianjurkannya berlindung kepada Allah dari kematian yang mengerikan.
  1. Kematian dalam kondisi tersebut sangat keras dan melelahkan.
    Boleh jadi seseorang ketika mengalami hal itu imannya tidak kokoh, sehingga syetan mampu menggelincirkannya dari iman. Sementara itu, manusia adalah makhluk yang lemah, mudah putus asa, sehingga selayaknya memohon agar diberikan kemudahan, lebih-lebih pada kondisi ketika akan meninggal. Berikut penjelasan Ibnu At-Tiin rahimahullah yang dinukil oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari tentang sebab orang-orang yang mati karena musibah di atas mendapat gelar syahid di akhirat, tidak lain karena meninggalnya dalam keadaan yang sangat berat.
    قَالَ اِبْن التِّين : هَذِهِ كُلّهَا مِيتَات فِيهَا شِدَّة تَفَضَّلَ اللَّه عَلَى أُمَّة مُحَمَّد صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَنْ جَعَلَهَا تَمْحِيصًا لِذُنُوبِهِمْ وَزِيَادَة فِي أُجُورهمْ يُبَلِّغهُمْ بِهَا مَرَاتِب الشُّهَدَاء
    Ibnu At-Tiin berkata, ‘Semua yang tertimpa musibah ini merasakan sakit kematian yang keras, Allah karuniakan itu kepada umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penghapus dosa-dosa dan tambahan pahala bagi mereka yang mengantarkan mereka mencapai derajat para syuhada’” (Bab al-Syahadah Sab’un Siwal Qatl).
  2. Kematian dalam kondisi tersebut biasanya datang mendadak.
    Boleh jadi seseorang pada saat itu terjadi padanya belum bertaubat. Boleh jadi juga saat itu mereka belum melunasi hutang, juga belum berwasiat kepada orang yang berhak mendapatkan wasiat, dan orang-orang terdekatnya, sehingga hak-hak orang lain belum ia tunaikan. Padahal setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat terkait hak orang lain yang belum ia kembalikan kepada pemiliknya, meskipun ia orang yang mati syahid. Demikian Sang Nabi telah mewanti-wanti umatnya,
    يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ
    “Orang yang mati syahid akan diampuni seluruh dosanya, kecuali hutang” (HR. Muslim no. 1886).
  1. Belum tentu mati syahid.
    Para ulama, di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Fatawa Al-Kubra (3/22), mengecualikan bagi orang yang bepergian naik kapal dalam kondisi sedang bermaksiat lalu tenggelam, tidak termasuk yang mendapatkan kesyahidan. Demikian juga pendapat Syaikh Shalih al-Munajjid hafizhahullah tentang orang yang bepergian untuk melakukan maksiat, seperti orang yang naik kapal untuk berzina dan minum khomr, dan yang semisalnya lalu tenggelam, maka ia tidak mendapatkan kesyahidan.
Kesimpulan, meskipun meninggal karena tenggelam, terjatuh dari tempat yang tinggi, terbakar, tertimpa benda keras, dan semisalnya itu mengantarkan seseorang meraih syahid di akhirat, akan tetapi banyak nash-nash yang menganjurkan kita untuk berlindung dari kematian yang mengerikan tersebut. Apabila seorang mukmin meninggal dalam keadaan tersebut dan tidak sedang bermaksiat, maka ia memperoleh kesyahidan. Akan tetapi ia tidak boleh berharap mati yang demikian, justru sebaliknya ia memohon kepada Allah Ta’ala agar terhindar darinya sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam.

Doa dan dzikir yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berwudhu hanya ada di dua tempat, yaitu:

Pertama, Membaca Bismillah di Awal Wudhu

Hukum membaca bismillah di awal wudhu adalah wajib. Bagi yang lupa membacanya di awal wudhu, hendaknya mengucapkan bismillah ketika teringat meskipun di tengah-tengah berwudhu. [1]
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
“Tidak ada (tidak sah) wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah ketika berwudhu.” [2]
Dan juga berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau menceritakan bahwa sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari air untuk berwudhu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
«هَلْ مَعَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مَاءٌ؟» فَوَضَعَ يَدَهُ فِي الْمَاءِ وَيَقُولُ: «تَوَضَّئُوا بِسْمِ اللَّهِ»
“Apakah kalian memiliki air?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkan tangannya ke dalam air dan bersabda,”Berwudhulah kalian dengan (mengucapkan) bismillah … “ [3]
Sebagian ulama menilai bahwa membaca bismillah hukumnya sunnah, tidak sampai derajat wajib karena menilai hadits-hadits tentang masalah ini adalah hadits yang dha’if. [4] Namun yang lebih tepat, hadits di atas adalah shahih, sehingga hukum membaca bismillah ketika berwudhu adalah wajib. [5]

Ke dua, Membaca Doa Selesai Berwudhu

Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُسْبِغُ الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
“Tidaklah salah seorang di antara kalian berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian mengucapkan, ‘Asyhadu an laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu’ [Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.] kecuali Allah akan bukakan untuknya delapan pintu langit yang bisa dia masuki dari pintu mana saja.” [6]
Di dalam riwayat At-Tirmidzi ada tambahan doa,
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ
“Allahummaj ‘alni minat tawwabiina waj’alnii minal mutathohhiriin [Ya Allah jadikanlah aku termasuk hamba-hambaMu yang rajin bertaubat dan menyucikan diri].” [7]
Adapun tambahan doa,
واجعلني من عبادك الصالحين من الذين لا خوف عليهم ولا هم يحزنون
“Waj’alni min ‘ibaadika ash-shalihin minalladziina laa khoufun ‘alaihim walaa hum yahzanuun [Jadikanlah aku termasuk hamba-Mu yang shalih, (yaitu) hamba-hamba-Mu yang tidak ada rasa takut dalam diri mereka dan tidak pula bersedih hati.]”
maka tambahan doa dengan lafadz seperti ini tidak ada asalnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tidak boleh diamalkan. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali hafizhahullah mengatakan,Sebagian orang menambahkan, ‘Waj’alni min ‘ibaadika ash-shalihin‘. Tambahan ini tidak ada asalnya sebagaimana yang aku jelaskan dalam kitabku, ‘Silsilah Al-Ahaadits Allati Laa Ashla Laha’.” [8]
Doa lain yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallams setelah berwudhu diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من تَوَضَّأ فَقَالَ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِك أشهد أَن لَا إِلَه إِلَّا أَنْت استغفرك وَأَتُوب إِلَيْك كتب فِي رق ثمَّ طبع بِطَابع فَلم يكسر إِلَى يَوْم الْقِيَامَة
“Barangsiapa yang berwudhu kemudian setelah berwudhu mengucapkan doa,’Subhaanaka allahumma wabihamdika asyhadu an laa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika’ [Maha suci Engkau ya Allah, segala puji untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau, aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu] maka akan ditulis di lembaran berwarna putih kemudian di-stempel dan tidak akan hancur sampai hari kiamat.” [9]
Hanya di dua tempat inilah disyariatkannya berdzikir dan berdoa ketika atau selesai berwudhu. Adapun doa dan dzikir selain di dua tempat ini, sebagaimana yang tersebar di tengah-tengah masyarakat, maka tidaklah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar